Sudah hampir satu bulan blog ini nganggur, nggak ada isinya
sama sekali. Tapi masih ada aja yang mau baca. Terakhir kali saya cek, bulan
lalu pengunjungnya sekitar seribu lebih. Lumayan lah ya untuk ukuran blog yang
biasa-biasa aja.
Kali ini saya cuma pengin cerita sesuatu, tentang “hikmah” yang bisa saya petik ketika mengobrol dengan salah satu dosen di warung kopi tempo hari. Ya walaupun saya hanya ingat beberapa poin.
Kali ini saya cuma pengin cerita sesuatu, tentang “hikmah” yang bisa saya petik ketika mengobrol dengan salah satu dosen di warung kopi tempo hari. Ya walaupun saya hanya ingat beberapa poin.
Poin yang paling saya ingat akan menjadi inti tulisan ini.
Mata pelajaran komunikasi lintas budaya belum selesai.
Seperti biasa, pak Radit tidak pernah puas dengan keadaan kelas yang terlalu
hening dan sepi. Beliau dengan sabar memasukkan satu per satu barang-barang
yang dia keluarkan tadi ke dalam tas. Dengan nada bicaranya yang khas, nada yang naik turun, pak Radit
melontarkan sebuah pertanyaan.
“Tempat ngopi yang enak di sekitar kampus di mana ya? Nggak
tau kenapa hari ini saya ngantuk sekali.”
Sontak, akibat “umpan” yang dilontarkan pak Radit membuat
“ikan-ikan” yang dalam hal ini, beberapa mahasiswa laki-laki langsung memberikan berbagai jawaban yang bertujuan untuk menunjukkan di mana
tempat terbaik untuk ngopi, sampai salah satu mahasiswa yang mungkin dengan
sengaja meminta untuk ikut ngopi dengan beliau.
Saya mengira pak Radit akan menolak, tapi dia mengiyakan
permintaan teman saya itu. Saya yang melihat ini sebagai peluang untuk bisa “nyepik” dosenpun memutuskan untuk ikut.
Selesai jam kuliah, kami berenam, termasuk pak Radit sudah
duduk manis di warung kopi dengan satu cangkir kopi di hadapan kami
masing-masing. Pak Radit memesan kopi hitam, sedangkan saya hanya memesan kopi
luwak instan. Maklum bukan anak kopi.
Pak Radit mulai melihat ke sekitar, matanya berhenti di
salah satu meja. Di meja tersebut ada seorang laki-laki berbaju loreng,
putih-kuning dengan laptop di depannya. Tiba-tiba pak Radit memberikan
pertanyaan ke kami semua.
“Kalo kalian nongkrong, lebih enak mana? Sendiri atau rame-rame?”
Dari kami berenam, mayoritas menjawab lebih senang
rame-rame. Mungkin cuma saya aja yang menjawab lebih enak sendiri.
Istilah saya adalah “me time”. Entah
kenapa, semenjak saya kuliah, saya merasa susah bergaul dengan orang. Mungkin
sejak dulu, tapi semenjak kuliah saya baru merasakan itu. Karena itu saya biasanya sendiri terus, makan sendiri, nongkrong sendiri, tidur sendiri. Kalo nyuci biasanya saya laundry sih.
Kalo saya nongkrong di café, saya juga biasanya sendiri. Lebih enak aja, saya bisa mengamati keadaan sekitar,
menyenangkan.
Pembicaraan ngalor ngidul ke berbagai hal sampai akhirnya topik kami ke pembahasan fenomena Bigolive. Kami
semua tau apa itu bigolive kecuali pak Radit. Mendengar kisah kami tentang bigolive pak Radit cuma bisa terkejut
mendengar fakta bahwa di zaman sekarang ini sangat mudah menemukan perempuan
dengan belahan dada.
Ya mungkin karena zamannya pak Radit belum ada bigolive ya makanya beliau nggak tau. Zaman dulu kalo mau ketemu perempuan atau cewek kayak gitu, harus ke Kalijodo, Doli atau Alexis? Why I know that?
Ya mungkin karena zamannya pak Radit belum ada bigolive ya makanya beliau nggak tau. Zaman dulu kalo mau ketemu perempuan atau cewek kayak gitu, harus ke Kalijodo, Doli atau Alexis? Why I know that?
Setelah mendengar tentang Bigolive, pak Radit langsung
mengambil hape yang ada di depannya dan dengan cepat beliau menginstall
bigolive. Yha, nggak deng. Walaupun pak Radit broadcast di Bigo paling juga
nggak ada yang mau nonton. Atau paling mentok yang nonton adalah homo Thailand. Maap pak, becanda.
Selepas topik bigolive, pembicaraan terbang ke sana kemari, hingga
akhirnya tiba pada topik yang sampai saat ini masih melekat dalam kepala saya.
Hujan perlahan-lahan kembali mengguyur kota Malang yang
dingin, Tiba-tiba hape pak Radit mengeluarkan suara.
Ada mahasiswa yang bertanya apakah hari itu perkuliahan
tetap masuk atau tidak gara-gara hujan yang deras itu.
Pak Radit mulai angkat suara.
“Saya bingung sama orang-orang, mungkin termasuk saya juga,
kenapa ya kalau hujan kita anggap sebagai sebuah halangan yang sangat besar.
Contohnya kayak gini sekarang. Hujan dikit udah ada yang nanya apakah masuk
apa nggak, padahal kan kalo kita mau mikir banyak banget cara mengatasinya.
Bisa pake jas hujan, bisa pake payung. Kalo emang nggak ada dua-duanya, yaudah
ujan-ujanan aja”
“Ya, mungkin udah bawaan dari kecil pak? Setiap kali kita
mau main hujan kita dilarang sama orang tua, itu mungkin yang mempengaruhi kita
sampai sekarang? Saya coba menyanggah
“kayaknya nggak deh” kata pak Radit dengan cepat. Yha nggak
deng. Becanda doang.
Menerima sanggahan saya dan sanggahan anak-anak yang lain,
pak Radit langsung menjelaskan tentang bagaimana orang-orang di Barat sana,
Eropa sana saat menghadapi hujan.
“Kalo di Eropa sana, orang-orangnya nggak ada yang pernah
ingkar janji karena hujan, mungkin ada tapi jarang. Mereka nggak pernah membuat
hujan sebagai alasan. Kalo emang janji jam tujuh terus hujan sebelum itu, pasti
orang-orangnya akan tetap datang menepati janjinya, gimanapun caranya” kata pak
Radit.
“Dulu saya dan seorang teman pernah buat acara workshop
(atau seminar) di kampus, terus hujan dan nggak ada yang dateng. Kami sampai
nunggu satu jam lebih. Karena nggak ada yang datang kami pergi ngopi aja.
Kami semua ketawa. Tapi sambil mikir.
Hujan lumayan reda, jam sudah menunjukkan pukul 4 sore
kurang 15 menit. Kami kembali ke kampus.
Anak-anak kembali ke parkiran kampus, pak Radit kembali ke kelas untuk mengajar.
Anak-anak kembali ke parkiran kampus, pak Radit kembali ke kelas untuk mengajar.
Saat perjalanan pulang, pikiran saya dipenuhi dengan
pertanyaan “kenapa ya, hujan jadi
halangan?”
Diskusi dengan pak Radit menyadarkan saya bahwa hujan itu
nggak ada efeknya sama sekali. Mungkin kita aja yang lebay. Gerimis dikit jadi
takut sakit.
Dengan diskusi itu, pikiran saya sedikit terbuka, mungkin
udah bukan waktunya lagi hujan jadi alasan. Berkat diskusi itu, saya jadi
sadar, udah nggak bisa buat hujan jadi alasan, hujan dikit, janji dibatain,
hujan dikit, kuliah libur, hujan dikit baper.
Intinya, kalo ada hujan
yawes terjang ae wes.
Oh ya, di mata kuliah pak Radit ini, saya jadi kating.
Setiap ada mahasiswa yang ngechat saya
nanyain masuk apa nggak gara-gara hujan, saya selalu bales “kata pak Radit,
walaupun hujan tetap masuk”
Ya walaupun sekarang saya masih sering bikin hujan jadi alasan. suatu saat saya akan meminimalisirnya, yha!
Ya walaupun sekarang saya masih sering bikin hujan jadi alasan. suatu saat saya akan meminimalisirnya, yha!
Semoga pak Radit baca ini, atau mungkin dosen-dosen yang
lain juga boleh baca tulisan ini biar bisa nongki bareng lagi, biar nggak
belajar di kelas mulu. Wkwk. Siapa tau akan ada perkuliahan yang bertemakan
#Ngopisession
Saya berharap saya bisa ngopi-ngopi lagi dengan pak Radit
atau dosen-dosen yang lain juga entar? Amin deh.
See yaa di postingan selanjutnya. Eh ya, kalian pernah kongkow bareng dosen/guru/bos kalian
nggak? Sharing dong, topik apa yang
masih kalian ingat pas kongkow itu. W
tunggu.
5 Komentar
Oh gitu toh
BalasHapusTrus kalo mahasiswa yg udah lulus nanyain masuk kuliah engga pas ujan, gimana bang?
Yang bayarin ngopi siapa ??? hahaha
BalasHapusWah hebat tu dosen ya....bisa ngopi sama mahasiswanya. hehehe
BalasHapusdulu aku juga sering beini. dulu.
BalasHapuswkwkwk tiati bang dosennya jgn dikasih sianida ya ahaha. keren bang artikelnya , sukses yaa
BalasHapusmampir jg ketulisan ini ya Karya sastra siapa tau bisa sharing" bareng. makasih
Komentar di sini aja, biar bisa blogwalking